MY BOOK-Dari Mana Datangnya Ide

My Book-Dari Mana Datangnya Ide

MY DESIGN-Mengembara dengan Uang 10 Sen

My Design-Mengembara dengan Uang 10 Sen

MY DESIGN-Olenka

My Design-Olenka

MY DESIGN-Airlangga

My Design-Airlangga
ADS BNR TB
Latest News

Pieter Akan Mati Hari Ini

Posted by Admin on Jumat , under , , | komentar (0)



Cerpen Denny Prabowo

dimuat di Kompas, Minggu, 14 Juni 2009 | 03:04 WIB

Sejak mercon itu meledak di benteng Zeelandia(1), aku tahu, hidup Pieter tak akan lama lagi. Derap langkah kuda serdadu kompeni yang melintasi depan rumahku serupa dengus napas sang maut. Bau kematian. Merebak ke tiap penjuru Jacatraweg.


De Malcontent(2) memang menyimpan bara pada kompeni. Namun, siapa percaya jika ia mampu menghimpun kekuatan untuk membantai seluruh orang Belanda di Batavia? Bukankah Margaretha, istrinya, juga seorang Belanda? Kuasa kompeni telah memilih Pieter dan kawan-kawan sebagai tertuduh utama meski tak satu bukti—kecuali isu yang diembuskan oleh seorang budak kepada istri Reijkert Heere.

Aku tahu, Pieter akan mati hari ini.

Tiga pekan lalu, serdadu kompeni menyerbu kediaman Pieter. Meringkusnya sebagai penjahat yang hendak melakukan makar. Bahkan, usaha Aletta mencegah serdadu membawa ayahnya hanya kesia-siaan. Margaretha mendekap tubuh anaknya ketika Pieter, Kartadriya, Layeek, dan enam belas orang lainnya digiring ke Stadhuis(3). Aku hanya bisa memandang dari balik jendela. Menuliskannya dalam baris-baris soneta. Apa boleh buat, aku hanya seorang pujangga. Apakah segerombolan kata-kata akan mungkin menghadang bedil-bedil kompeni itu?

Sejarah memang harus dituliskan.

Wajah Pieter mengeras demi mendengar keputusan Dewan Heemraden. Bagaimana mungkin, tanah di Pondok Bambu dan Sontar yang dahulu dibeli ayahnya dihapus kepemilikannya. Ia bahkan harus membayar sewa karena telah menggunakan tanah tersebut untuk usaha.

”Begitu besarkah kebencian mereka kepada seorang Indo sepertiku?” kata Pieter memeram bara, ”mamiku memang Siam. Tapi apa salahnya menjadi orang Siam? Bukankah kita tak memilih dari rahim siapa dan di mana kita dilahirkan?”

Margaretha dan Aletta tak tahu harus berkata apa. Mereka hanya bisa bermain-main dengan sendok dan garpu di tangannya. Selera makan mereka telah hilang sejak Pieter menggebrak meja setelah membaca surat keputusan Dewan Heemraden mengenai kepemilikan tanah keluarga Erberveld.

”Bukankah dahulu papi Tuan seorang Vertegenwordige(4) di Het College van Heemraden?” tanya Ateng Kartadriya, meneliti surat keputusan tersebut.

”Benar, Raden!” ujar Pieter, “mereka bahkan tak peduli pada jasa Papi.”

”Hmm... tiga ribu tiga ratus ikat padi?” gumam Ateng Kartadriya, ”mungkinkah ini ada hubungannya dengan Reijkert Heere?”

Kedua alis Pieter saling bertaut ketika keningnya mengerut. Ia seperti sedang mencari alasan paling mungkin bila dugaan Ateng itu benar. Ya... untuk apa? Mengapa Reijkert harus melakukan itu?

Ateng Kartadriya dan Pieter saling berpandangan, seperti menemukan jawaban.

Sejak usaha leerlooierij(5) Erbelveld senior tersohor, nama Jacatraweg menjadi tenggelam. Orang lebih mengenal tempat itu sebagai kampung Peca’ Kulit. Mungkin karena kepiawaian Erberveld senior itu, Pemerintah Belanda mengangkatnya sebagai wakil presiden di Het College van Heemraden.

Sepeninggal Erbelveld senior, Pieter melanjutkan usaha itu. Kedekatannya dengan bangsa pribumi membuat Pieter disegani. Ia bahkan berkarib dengan seorang pribumi bernama Raden Ateng Kartadriya. Mereka bahkan menyebutnya Toean Goesti setelah ia mengaku sebagai orang Selam(6).

Seandainya saja dahulu Pieter mau menerima tawaran Henricus Zwaardecroon, mungkin Reijkert Heere tak perlu menjelma sebagai penulis lakon sebuah sandiwara dan menjadikan Pieter pemeran utamanya.

Aku tahu, Pieter akan mati hari ini.

Siapa pun yang dijebloskan ke ruang hukuman di Stadhuis akan mengakui kesalahannya. Landdrost(7) selalu memiliki cara untuk membuat orang mengakui kesalahannya meski sesungguhnya ia tiada bersalah.

Ruang bawah tanah itu adalah saksi bagi keputusasaan.

Dan sejarah memang harus dituliskan.

Sejak mercon itu meledak di benteng Zeelandia, Gubernur Jenderal Zwaardecroon kian meradang. Hanya tinggal selangkah lagi ia akan menjadi pemilik seluruh tanah di Batavia. Namun, dukun yang diundangnya mengatakan kepadanya tentang langit Batavia yang telah dipenuhi segala macam ilmu hitam. Seorang stafnya meninggal tiba-tiba karena penyebab yang entah apa. Apalagi, tersiar kabar tentang jimat-jimat yang beredar di tengah masyarakat.

”Selamat siang, Tuan!” sapa seseorang. Zwaardecroon bergeming menatap keluar jendela kantornya.

”Apakah kau datang membawa kabar, Tuan Reijkert?” tanya Henricus Zwaardecroon tanpa menoleh.

”Saya ada membawa kabar, Tuan!”

”Kabar baik?”

”Tentu, Tuan!” kata Reikert, ”kami sudah menemukan biang keladi kekacauan selama ini.”

Zwaardecroon langsung memutar tubuhnya, ”Betul yang kaukatakan itu, Reijkert?”

”Benar, Tuan,” ujarnya, ”Tuan tentu mengenal Raden Ateng Kartadriya?”

”Mandor di leerlooierij milik Pieter?”

”Kami menggeledah rumahnya dan menemukan jimat-jimat yang selama ini beredar di masyarakat.”

”Jadi, dia pelakunya?”

Reijkert tersenyum, ”Tuan tahu siapa yang berada di belakangnya?”

”Pieter?”

”Benar, Tuan!”

Zwaardecroon memandang keluar jendela ruang kerjanya, ”Kau tentu sudah tahu apa yang harus dilakukan, Reijkart?”

Reijkart memberi hormat, melangkah meninggalkan ruang kerja Gubernur Jenderal Henricus Zwaardecroon. Suara langkahnya seperti irama kematian.

Sejak suaminya menjadi penghuni ruang hukuman di Stadhuis, Margaretha telah kehabisan air mata. Ia tak lagi bisa menangis. Leerlooierij milik suaminya tak lagi beroperasi. Hari-harinya hanya ditemani sepi. Sudah beberapa kali dia mengunjungi Stadhuis, mencari tahu nasib suaminya. Sia-sia. Gubernur Jenderal tak mengizinkan siapa pun mengunjungi pelaku pemberontakan. Seperti juga aku, Margaretha tahu, hidup suaminya tak akan lama lagi.

Pagi tadi, berkas perkara Pieter dan teman-temannya tidak diserahkan ke Raad van Justitie, tetapi ke Collage van Heemraden. Tanpa seorang pengacara pun mendampingi mereka.

Aku tahu, Pieter akan mati hari ini.

Bukankah sudah kukatan, tak ada yang tidak akan mengaku bersalah setelah masuk ruang hukuman di Stadhuis? Begitulah hukum kompeni. Mereka selalu punya cara untuk membuat orang mengakui kesalahan yang tidak dilakukannya.

Aku memang tidak berada di ruang hukuman, tapi aku tahu apa yang telah mereka lakukan terhadap Pieter dan teman-temannya.

Sejarah memang harus dituliskan, bukan?

Tiap jengkal tubuh Raden Kartadriya telah menerima pukulan serta tendangan. Kedua tangannya dirantai. Lehernya dikalungi timbangan besi. Kepalanya tertunduk ke lantai menahan nyeri setiap kali serdadu kompeni menambah pemberat pada timbangan. Namun, ia masih bungkam, tak mau membuka suara.

”Potong habis rambutnya!” perintah Reijkert, ”kita lihat, apakah ia masih sanggup tutup mulut!”

”Baik, Meneer!”

Helai demi helai rambut Raden Kartadriya berjatuhan di lantai hingga tak sehelai pun tersisa di kepalanya.

Reijkert mencengkeram leher Raden Kartadriya, lalu mendongakkannya. Lelaki itu malah tersenyum sinis, sorot matanya menyimpan api. Sebuah hantaman ditengkuknya membuat kesadarannya hilang.

”Masukan dia ke dalam sel!” perintah Reijkert, ”seret yang lainnya!”

Serdadu kompeni menyeret Layeek, seorang budak dari Sumbawa, orang kepercayaan Pieter setelah Raden Kartadriya.

”Kamu orang tak perlu menderita seperti Kartadriya jika mau menceritakan tentang rencana pemberontakan kalian!” bujuk Reijkert.

”Fuih!” Layeek meludahi wajah Reijkert.

”Kurang ajar!” Tangan Reijkert menghantam dagu Layeek. Pemuda itu langsung tumbang, ”Angkat dia!”

Serdadu kompeni merebahkan tubuh Layeek di atas de pijnbank(8). Kedua tangannya dibentangkan, lalu telapaknya disekrup. Layeek menjerit-jerit kesakitan. Darah. Reijkert tertawa menikmati setiap tetes darah yang retas dari tubuh legam Layeek.

”Baik... baik, Tuan... saya akan ceritakan!”

Sejak Pieter dan teman-temannya membuat pengakuan, Collage van Heemraden telah mengetukkan palunya. Konon dan memang hanya konon, Pieter menyimpan semua rencana pemberontakannya di sebuah peti di dalam lemari tua di rumahnya. Pieter mengatakan akan melakukan pemberontakan pada malam tahun baru dengan dukungan pasukan dari Banten, Cirebon, dan Kartasura. Pieter bahkan mengaku telah berkirim surat kepada putra Surapati.

Aku tahu, Pieter akan mati hari ini.

Meski kompeni tak berhasil menemukan surat-surat yang konon disembunyikan dalam peti di lemari tua miliknya, Raad van Indie telah menyetujui hukuman mati dengan penggal kepala kepada Pieter dan delapan belas orang inlander pengikutnya. Mereka akan mengeksekusinya di lapangan sebelah selatan kasteel.

Begitulah, sejarah akan dituliskan, kataku mengakhiri cerita.

Kedai minum itu hening. Tak ada yang tahu apa yang sedang bermain di dalam kepala orang-orang yang mendengar ceritaku itu. Pieter Erbelveld memang dikenal luas di Batavia.

”Kita harus meninggalkan tempat ini, Tuan!” ujar seorang lelaki dengan destar merah melilit kepalanya, ”sebelum kompeni menyadari pelarian Tuan. Raden Pengantin beserta pasukannya telah menanti di bekas tanah milik Tuan di Sontar.”

”Kartadriya....”

”Kita tak mungkin membawanya serta.”

”Apakah kau akan ikut dengan kami, Jan?”

”Pergilah!” jawabku, ”aku akan menyusul kalian. Biar kuselesaikan dulu soneta ini.”

Sepeninggal kedua orang itu, pemilik kedai yang ikut mendengarkan ceritaku menghampiri, ”Tuan, bukankah Meneer yang wajahnya penuh luka itu Pieter Erbeveld?”

”Bukan!” kataku sambil berlalu meninggalkan pemilik kedai itu, ”Pieter akan mati hari ini!”

Pemilik kedai itu hanya tersenyum, memandangi kepergianku.

Depok, 09/11/2008



Catatan:

1. Gudang mesiu di Kota
2. Orang yang Kuciwa, lihat Saidi, Ridwan (hlm 184). 1987. Profil Orang Betawi--Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadat, Jakarta: PT Gunara Kata
3. Sekarang Museum Fatahilah
4. Wakil Presiden
5. Penyamakan kulit
6. Orang Islam
7. Semacam jaksa
8 Bangku penyiksa

Menafsir Mimpi dalam Dua Cerpen

Posted by Admin on , under , , | komentar (0)



Esai Denny Prabowo

dimuat di Lampung Post, Minggu, 14 September 2008

Hampir seperempat dari kehidupan manusia dihabiskan dalam keadaan tertidur. Jika rata-rata usia manusia 60 tahun, maka 15 tahun dilaluinya dalam keadaan tertidur. Apakah itu berarti manusia telah menyia-nyiakan 15 tahun yang dilalui dalam keadaan tertidur itu?

Menurut Frued, mimpi merupakan penghubung antara kondisi bangun dan kondisi tidur. Baginya, mimpi adalah ekspresi yang terdistorsi atau yang sebenarnya dari keinginan-keinginan yang terlarang untuk diungkapkan ketika manusia dalam keadaan terjaga.

Dalam teori psikoanalisisnya, Frued membagi struktur kepribadian menjadi id, ego dan superego. Id adalah komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal, di mana sistem kerjanya dengan prinsip kesenangan “pleasure principle”. Ego adalah bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana, di mana sistem kerjanya pada dunia luar untuk menilai realitas dan berhubungan dengan dunia dalam untuk mengatur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego. Superego adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filter dari sensor baik-buruk, salah-benar, boleh-tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan ego.[1]

Setiap saat, ego harus menjadi hakim atas pertarunan antara id dan superego. Dan sering kali id mengalami kekalahan. Sebab itu, hasrat atau keinginan-keinginan terlarang yang teredam ketika manusia dalam kondisi bangun, akan mewujud di dalam tidurnya melalui mimpi.

Dalam cerpennya yang berjudul “Mimpi” dalam antologi cerpen Sepasang Mata untuk Cinta yang Buta (Depok: Lingkar Pena Publishing House, 2008), Noor H. Dee (NHD) mencoba membalikan logika mimpi. Mimpi yang semestinya masuk wilayah ‘ketaksadaran’ dibuat sebaliknya. ‘Aku’ lelaki dan ‘Aku’ perempuan di dalam cerpen NHD, menyadari ketaksadarannya: Aku tahu saat ini aku sedang bermimpi. (NHD, hlm. 41)

Di dalam cerpen itu, kedua tokoh ‘Aku’ mengalami mimpi yang sama. ‘Aku’ perempuan memberikan telinganya kepada ‘Aku’ lelaki. Ketika memberikan telinganya ‘Aku’ perempuan berkata, “Ambillah sepasang telingaku ini, sayang. Dengarlah segenap suara-suara yang aku pernah aku dengan di sepanjang perjalanan hidupku. Tentu saja suara serakmu juga tersimpan di sana. Sebab, bukankah kamu sering membisikkan kalimat sayang di telingaku?” (NHD, hlm. 41)

Namun ‘Aku’ lelaki mengingkari bahwa dirinya sering mengucapkan kata sayang kepada ‘Aku’ perempuan. Bahkan ‘Aku’ lelaki mengakui bahwa dia tak mengenal ‘Aku’ perempuan. Jadi, bagaimana mungkin dia mengucapkan kata sayang?

Pengingkaran ‘Aku’ lelaki diamini oleh ‘Aku’ perempuan yang di dalam mimpi itu bisa mendengar suara hati dari ‘Aku’ lelaki. Memang, memang kami tidak saling mengenal. Kami hanya sepasang menusia yang terperangkap di dalam dunia mimpi. (NHD, hlm. 44)

Ketika keduanya terbangun dari mimpinya, mereka terkejut karena ternyata mereka terbangun di atas ranjang yang sama. Keduanya kemudian saling bertanya-tanya bangaimana mereka bisa ada di tempat itu. Mereka merasa bahwa kamar itu bukan milik mereka berdua. Dan pertanyaan itu terjawab ketika tiba-tiba pintu kamar mereka terbuka. Seorang gadis cilik berusia sepuluh tahun yang rambutnya dikepang dua masuk ke dalam kamar itu.

“Kenapa sih Ayah dan Ibu selalu bertengkar? Hari ini kita jadi kan ke rumah Nenek yang di Bogor?” (NHD, hlm. 48)

Akhir cerita yang mengejutkan ini, memberikan tafsiran tentang mimpi yang dialami oleh kedua tokoh ‘Aku’. Bahwa sesungguhnya, mimpi yang mereka alami merupakan realitas yang mereka ingkari.

Berbeda dengan cerpen Mimpi yang ditulis oleh NHD, dalam cerpen dengan judul yang sama, “Mimpi” dalam antologi cerpen Gres (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Putu Wijaya (PW) justru menghadirkan ketaksadaran dalam kesadaran melalui tokoh Pian. Tokoh Pian ingin sekali bermimpi makan enak di restoran. Suatu kali, Pian pergi menonton sebuah pertunjukan balet di TIM. Di tengah pertunjukan itu Pian tertidur. Pian bermimpi dijamu oleh seseorang yang seperti Idi Amin.

Waktu sadar Pian sudah tergolek di lantai. Teater Terbuka TIM sudah kosong. Lampu-lampu sudah dipadamkan. Tinggal Pian sendirian. Untuk sesaat Pian terkesima. Tetapi setelah menenangkan pikirannya, ia hampir berani menyimpulkan bahwa ia sebenarnya sedang dalam keadaan tak sadar, tetapi di alam mimpi. (PW, hlm. 40)

Setelah itu, Pian pun melakukan tindakan-tindakan yang dia inginkan, yang tak mungkin diwujudkan alam kehidupan nyata. Pian melemparkan botol Fanta ke panggung. Memanjat menara lampu, mencopot lampu-lampu follow, kemudian menjatuhkan balohnya ke bawah. Setelah itu ia naik ke atas pohon di sebelah kanan panggung, lalu dari sana ia kencing dan berak. Tak ada yang menghalanginya. Bahkan ketika Pian melompat dari atas tembok dan ngeloyor menaiki sebuah mobil yang kebetulan parkir. Pian ingin mewujudkan keinginannya yang selama ini tak terwujudkan dalam kehidupan nyata. Dia ingin makan di restoran di Pecenongan. Maka, meluncurlah ia ke sana.

Sepanjang perjalanan ke tempat itu, terjadilah huru-hara yang diakibatkan oleh tindakan Pian. Karena Pian merasa dirinya berada di alam mimpi maka dia merasa bebas untuk melakukan apa pun.

Begitulah. Apa yang dialami oleh Pian timbul karena dorongan id. Karena ia mengira berada di alam mimpi, egonya tak lagi mempertimbangkan superego. Maka, yang terjadi kemudian, Pian mengabaikan nilai-nilai superego.

Apa yang dialami oleh tokoh-tokoh di dalam cerpen “Mimpi” karya NHD dan PW ini sesungguhnya merupakan refleksi dari kondisi masyarakat saat ini. Realitas kehidupan yang terjadi nyaris tak bisa dibedakan dengan dunia mimpi. Di dalam cerpen “Mimpi”-nya PW membuka dengan berita tetang seorang ayah yang memakan anaknya sendiri. Ia mengaku hal itu dilakukannya di dalam mimpi. Dahulu, peristiwa ayah memakan anak kandungnya sendiri seperti dalam cerpen PW hanya mungkin terjadi di dunia mimpi. Namun kini, ‘produk’ dunia mimpi itu bisa kita dapati dalam kehidupan nyata. Lalu, manakah dalam kehidupan kita yang sesungguhnya nyata dan manakah yang sesungguhnya mimpi? Wallahua’lam bishshowab.


[1] Dra Kusmawati Hatta M.pd dalam Sekilas Tetang Kepribadian Sigmund Freud dan Aplikasinya dalam Proses Bimbingan

Sayembara Menulis Novel DKJ 2010

Posted by Admin on Minggu , under , | komentar (0)



Untuk merangsang dan meningkatkan kreativitas pengarang Indonesia dalam penulisan novel, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) kembali menyelenggarakan Sayembara Menulis Novel. Lewat sayembara ini DKJ berharap lahirnya novel-novel terbaik, baik dari pengarang Indonesia yang sudah punya nama maupun pemula, yang memperlihatkan kebaruan dalam bentuk dan isi. Adapun persyaratannya sebagai berikut:

Ketentuan Umum

  • Peserta adalah warga negara Indonesia (dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk atau bukti identitas lainnya).
  • Peserta boleh mengirimkan lebih dari satu naskah.
  • Naskah belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apa pun, baik sebagian maupun seluruhnya.
  • Naskah tidak sedang diikutkan dalam sayembara serupa.
  • Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik.
  • Tema bebas.
  • Naskah adalah karya asli, bukan saduran, bukan jiplakan (sebagian atau seluruhnya)

Ketentuan Khusus

  • Panjang naskah minimal 150 halaman kuarto, 1,5 spasi, Times New Roman 12
  • Peserta menyertakan biodata dan alamat lengkap dalam lembar tersendiri, di luar naskah
  • Empat salinan naskah yang diketik dan dijilid dikirim ke:


Panitia Sayembara Menulis Novel DKJ 2010
Dewan Kesenian Jakarta
Jl. Cikini Raya 73
Jakarta 10330

  • Batas akhir pengiriman naskah: 30 September 2010 (cap pos atau diantar langsung)
Lain-lain
  • Para Pemenang akan diumumkan dalam Malam Anugerah Sayembara Menulis Novel DKJ 2010 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada pertengahan Januari 2011.
  • Hak cipta dan hak penerbitan naskah peserta sepenuhnya berada pada penulis.
  • Keputusan Dewan Juri tidak dapat diganggu gugat dan tidak diadakan surat-menyurat.
  • Pajak ditanggung pemenang.
  • Sayembara ini tertutup bagi anggota Dewan Kesenian Jakarta periode 2009-2012.
  • Maklumat ini juga bisa diakses di www.dkj.or.id
  • Dewan Juri: Agung Ayu, Anton Kurnia, dan A.S. Laksana

Hadiah

Pemenang utama Rp. 20.000.000
Empat pemenang unggulan @ Rp. 7.500.000

Memperbincangkan Sejarah Sastra Indonesia (Periode Balai Pustaka s.d Angkatan 45)

Posted by Admin on Jumat , under , | komentar (0)



Esai Denny Prabowo

Membicarakan sejarah sastra Indonesia tentu tak bisa menafikan peran Balai Pustaka. Meski periodisasi sastra yang menempatkan kelahiran Balai Pustaka sebagai awal lahirnya sastra Indonesia modern belakangan banyak digugat, tak ada yang berdebat mengenai peran penting Balai Pustaka dalam menumbuhkembangkan kesusastraan Indonesia.

Pendirian Balai Pustaka atau Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de volkslectuur) 22 September 1917 yang menggantikan Komisi Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de Indlandsche schook en Volkslectuur) yang berdiri tahun 1908, bukan sekadar sebagai realisasi politik etis Belanda. Sutan Takdir Alisjahbana yang pernah menjadi redaktur penerbit Balai Pustaka menyatakan:

Balai Pustaka didirikan untuk memberi bacaan kepada orang-orang yang sudah pandai membaca, yang tamat sekolah rendah dan yang lain-lain, disamping untuk memberikan bacaan yang membimbing mereka supaya jangan terlampau tertarik pada aliran-aliran sosialisme atau nasionalisme yang lambat laun toh agak menentang pihak Belanda.1)

Terlepas dari persoalan politik yang melatarbelakanginya, pemerintah kolonial ketika itu menyadari betul fungsi bacaan, khususnya sastra, dalam penyebaran ideologi kepada masyarakat. Oleh sebab itu, mereka melakukan sensor yang ketat terhadap naskah-naskah yang hendak mereka terbitkan. Meski demikian, karya-karya yang lahir ketika itu tetap memperlihatkan kecendrungan semangat pemberontakan terhadap kultur-etnis.

Beberapa karya penting yang lahir dalam periode ini adalah Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yang oleh pengamat sastra ditempatkan sebagai novel pertama Indonesia dalam khazanah kesusatraan Indonesia modern. Walaupun tema yang mempermasalahkan perkawinan dalam hubungannya dengan harkat dan martabat yang diusung oleh novel ini bukanlah sesuatu yang baru, novel inilah yang pertama kali mempergunakan bahasa Melayu tinggi atau yang biasa disebut bahasa Melayu sekolahan. Dalam konteks inilah Azab dan Sengsara menjadi penting.

Karya lainnya yang tak kalah penting adalah Sitti Nurbaya karya Marah Rusli. Hampir semua kritikus sastra Indonesia menempatkan novel ini sebagai tonggak sastra Indonesia pada periode ini. Novel ini tak sekadar menampilkan latar sosial yang lebih tegas, tetapi juga mengandung kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Tema-teman inilah yang kemudian banyak diikuti oleh pengarang-pengarang lainnya pada masa itu. Bahkan di Malaysia, Sitti Nurbaya menjadi bacaan wajib di tingkat sekolah lanjutan sehingga pada tahun 1963 saja, novel ini telah mengalami cetak ulang ke-11 di Malaysia. Maka tak salah jika pada tahun 1963 bersama dengan novel Salah Asuhan, Belenggu, dan Atheis, novel ini memperoleh Hadiah Tahunan Pemerintah.

Pengarang lain pada era ini yang wajib diketengahkan adalah Abdul Muis dengan Salah Asuhan-nya. Novel pertama karya sastrawan yang digelari pahlawan nasional ini secara tematik tak mempersoalkan masalah adat-istiadat yang tidak lagi sejalan dengan zamannya, tetapi lebih dari itu, ia mengangkat persoalan kawin campur antarbangsa yang menyangkut perbedaan adat-istiadat, tradisi, agama, dan budaya. Boleh dikatakan, Salah Asuhan merupakan upaya pembaharuan secara tematik pada periode 20-an yang akan menemukan bentuknya pada era setelahnya, yaitu Pujangga Baru.

Majalah Pujangga Baru yang dirintis oleh Sutan Takdir Alisjahbana (selanjutnya disebut STA), Sanusi Pane, Armijn Pane, dan Amir Hamzah berdiri tahun 1933. Melalui majalah inilah para pengarang dari pelosok tanah air dan Semenanjung Melayu mempublikasikan karyanya. Begitu populernya majalah ini sehingga para pengarang yang berkarya pada ketika itu disebut sebagai sastrawan Pujanga Baru. Pada periode ini, karya-karya yang lahir memperlihatkan semangat membangun kultur Indonesia di masa datang yang diidealkan.

Pengarang penting yang patut dikemukakan pada era ini tentu saja STA dengan karyanya Layar Terkembang yang dianggap sebagai karya terpenting ketiga di antara roman-roman sebelum perang. Para kritikus sastra seperti H.B. Jassin, Ajib Rosidi, Zuber Usman, Amal Hamzah, dan A. Teeuw menyebut novel ini sebagai novel bertendensi. Tokoh Tuti dalam novel ini merupakan representasi sikap dan pemikiran pengarangnya dalam mengangkat harkat martabat wanita Indonesia.

Dalam periode 30-an ini lahir pula nama Hamka yang bersama Helmi Yunan Nasution mengelola majalah Pedoman Masjarakat. Dari majalah ini lahir karya penting dari tangan Hamka, yaitu Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Meski secara tematik novel ini masih belum beranjak dari persoalan cinta dan perkawinan dalam hubungannya dengan adat, tetapi Hamka tampaknya tak hendak mempertentangkan secara tegas golongan muda dengan golongan tua, ia lebih menekankan pada pribadi manusianya itu sendiri. Namun, justru dalam pengembangan masalah adat itulah, problematika dalam novel ini menjadi sangat terasa.

Nama lain yang layak disebut dalam periode 30-an ini adalah Selasih (nama samara lain; Sariamin = Seleguri = Sri Gunting = Sri Tanjung = Ibu Sejati = Bundo Kandung = Mande Rubiah). Novelnya Kalau Tak Untung mengantarkannya sebagai pujangga wanita Indonesia yang pertama. Dalam kaitannya dengan hal inilah Kalau tak Untung menjadi karya yang sangat penting, meski secara tematik masih menampilkan persoalan yang sama dengan pengarang-pengarang periode 20-an.

Nama Sanusi Pane sebagai antipode STA tentu tak bisa begitu saja diluputkan, selain Amir Hamzah yang disebut sebagai pembaharu puisi di era ini. Namun yang patut dicatat dari periode Pujangga Baru adalah pada kurun inilah pertama kali kebudayaan Indonesia dirumuskan melalui polemik antara STA dengan Sanusi Pane, Purbatjaraka, Ki Hajar Dewantara, dll, yang dikenal dengan Polemik Kebudayaan. Meski banyak yang menyetujui pemikiran Sanusi Pene dengan gagasan penyatuan Arjuna dengan Faust yang menghasilkan sintesa Timur dan Barat, tetapi tak pernah terlontar kata sepakat yang melahirkan pernyataan bersama dalam rumusan kebudayaan Indonesia di masa datang.

Persoalan Polemik Kebudayaan ini baru terselesaikan ketika Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin memelopori “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Kalimat pertamanya yang berbunyi: “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri,” mengisyaratkan terbukanya angkatan ini menerima pengaruh asing dan kemudian merumuskannya sendiri berdasarkan keberagaman kultur keindonesiaan. “Surat Kepercayaan Gelanggang” inilah yang kemudian menjadi konsepsi seni dan budaya bagi generasi yang dikenal dengan Angkatan 45.

Karya penting yang lahir sebagai wujud dari pernyataan bersama tersebut adalah Tiga Menguak Takdir. Buku ini memuat puisi-puisi karya Chairil Anwar, Asur Sani, dan Rivai Apin. Secara implisit, judul Tiga Menguak Takdir seolah hendak menegaskan sikap generasi ini yang dapat dipandang sebagai jawaban dari Polemik Kebudayaan yang muncul karena gagasan Sutan Takdir Alisjahbana.

Nama lain yang tak bisa dinafikan dari peta sastra ANgkatan 45 adalh drus. Jika Chairil disebut sebagai pembaharu puisi pada periode ini, Idrus disebut-sebut oleh H.B. Jassin sebagai pembaharu prosa melalui cerpen-cerpennya yang terkumpul dalam buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma. Wacana eksistensialisme menemui ruangnya pada periode ini. Puncaknya tentu saja lahirnya cerpen Atheis dari tangan Achdiat K. Mihardja yang seolah menjadi jawaban dari kegelisahan manusia yang hidup pada masa itu.

Jika menilik perjalanan kepengarangan para sastrawan sejak dari angkatan Balai Pustaka sampai Angkatan 45, hampir kebanyakan pengarang pada masa itu tumbuh dalam kultur membaca yang muncul akibat sistem pendidikan kolonial ketika itu yang mewajibkan siswanya membaca karya sastra minimal 25 judul dalam rentang masa pendidikan selama tiga tahun di AMS.

Kondisi itulah yang memungkankan para pengarang ketika itu berkenalan dengan karya-karya sastrawan dunia seperti Shakespeare (Inggris), Johan Wolfgang von Goethe (Jerman), Leo Tolstoy (Rusia), Rabindranath Tagore (India), Baidaba (Persia), dll. Dan dari perkenalan dengan sastrawan dunia itulah terjadi tranformasi nilai-nilai yang secara otomatis membentuk karakter bangsa ketika itu.

Demikianlah perbincangan sejarah sastra yang serba sedikit dan terbatas hanya pada periode Balai Pustaka sampai Angkatan 45. Tulisan ini tak dimaksudkan untuk merangkum periode tersebut yang berlangsung dalam rentang yang cukup panjang, hanya sebuah catatan dari penyuka sastra yang hendak menengok masa lalu. Semoga bermanfaat.


Catatan:
1) Sutan Takdir Alisjahbana, “Perjuangan Budaya dan Pengalaman Pribadi Selama di Balai Pustaka” dalam Bunga Rampai Kenangan pada Balai Pustaka, Jakarta 1992, h. 20
2) Mahayana, Maman S. 9 jawaban sastra Indonesia. Jakarta: Bening Publishing 2005, h. 394