ADS BNR TB
Latest News

Facebook dalam Cerpen

Minggu , Posted by Admin at Minggu, September 06, 2009

Oleh Wildan Nugraha

KEBERADAAN situs-situs jejaring pertemanan, seperti Friendster, Facebook, dan Twitter, kini semakin populer saja. Banyak penulis cerita mulai menanggapi fenomena kontemporer ini. Salah satunya Sofie Dewayani lewat cerpen berjudul “Bangku Belakang”, yang beberapa waktu lalu dimuat sebuah harian terbitan ibu kota.

Dikisahkan, tokoh Sam belakangan betah duduk di bangku warnet. Dia menemukan kembali kawan-kawan SMA-nya lewat situs Facebook: Harno kini bekerja di perusahaan penerbangan, Bambi sudah menjadi bos, Kardiman sekarang tinggal di Jerman. Semua memajang foto-foto bagus mereka, mengirimkan kabar-kabar bahagia. Mendapati kawan-kawannya yang tampak bernasib lebih bagus, Sam hanya menyeletuk sekadarnya dan lebih banyak menyaksikan saja. Sofie membangun tokoh Sam cenderung pendiam, yang dulu di SMA-nya pun jarang terlihat. Bangku duduknya di kelas adalah bangku paling belakang.

Tokoh sentral lain dalam “Bangku Belakang” adalah Tino, sang ketua kelas sewaktu SMA, kawan karib Sam. Tino keras kepala dan keras hati. Lulus SMA, Tino gagal masuk universitas idaman, lalu berpindah dari kota ke kota. Sejak tiga tahun belakangan, di kota mereka itu (secara tersirat: Jakarta), Sam dan Tino bertemu kembali. Tino membuka bengkel sepeda kecil-kecilan, sementara Sam membuka kios majalah di dekatnya. Berbeda dengan Sam, Tino menganggap berselancar di dunia maya, berkontak dengan kawan-kawan lama lewat Facebook, hanya menghabiskan waktu.

Pekerjaan wiraswasta kecil-kecilan Sam dan Tino memang sangat signifikan dalam “Bangku Belakang”. Hal ini menggambarkan kelas sosial Sam dan Tino, yang kemudian dikontraskan Sofie dengan kelas sosial kawan-kawan lama mereka yang muncul di Facebook. Perkara kontras kelas sosial ini di benak Sam dan Tino sebenarnya lebih menjadi masalah psikologis pada umumnya, seperti soal inferioritas. Akan tetapi, perkara problematis ini menjadi khas karena realitas virtual (yang diwakili Facebook) menjadi faktor yang determinan.

Muncullah kemudian rencana reuni bertempat di sebuah restoran mewah. Perasaan minder Sam terhadap kawan-kawannya, diam-diam telah berubah. Acara reuni bagi Sam menjadi kesempatan berharga agar bisa “terlihat”, meski mungkin buat sekali itu saja. Maka, agar mulus tentu bagusnya Tino tidak turut. Lagi pula, Sam ragu Tino tertarik. Dalam benaknya: “... Tino yang teguh pendirian, juga makin keras kepala ... Aku urung memberitahunya tentang rencana reuni SMA minggu depan. Tak mungkin dia mau datang. Kurahasiakan keputusan yang barusan kuniatkan: aku akan datang. Aku bosan tak terlihat. Aku bosan duduk di bangku belakang.”

Karena ingin “terlihat” itu, Sam meminjam mobil Kijang pamannya. Bahkan, sepatu kulit pamannya yang ukurannya kekecilan buat Sam dipakai juga. Dan, di hadapan kawan-kawannya, sambil mematut-matut lidah mencecap rasa asing pad thai dan tom yam, Sam membual bahwa istrinya (seorang penjahit rumahan yang sesekali menerima orderan dari tetangga) tidak ikut sebab sedang dinas ke Singapura. Sebelum pulang, Sam sempat menawarkan membayar semua tagihan di restoran. Tentu saja itu basa-basi semata, setelah Sam memperhitungkan bahwa kawannya Bian—yang sedang jadi kandidat pilkada—tentu akan memenangkan perdebatan soal pembayaran tagihan.

Hipermodernisme

Dalam sebuah esainya yang memerikan “petaka” hipermodernisme, Haryatmoko (2009) menulis bahwa istilah hipermodern tidak bisa lepas dari pengertian modern, tetapi tekanan lebih pada eksesnya, dan kata depan “hiper” mengacu ke makna “berlebihan” atau “terlalu”. Tentu saja definisi itu tidak mencukupi. Untuk memahami konsep hipermodern perlu menempatkannya di dalam konteks sejarah kelanjutan pemikiran modern dan sekaligus dalam kerangka membedakan dari istilah postmodern.

Saya menggarisbawahi beberapa hal, di antaranya dari tulisan Haryatmoko, yang lebih kurang membantu pembacaan atas “Bangku Belakang” Sofie Dewayani. Misalnya, tulis Haryatmoko, pribadi hipermodern sangat individualistik, masuk dalam putaran globalisasi ekonomi, semakin didominasi oleh hukum pasar dan dikondisikan oleh waktu yang semakin cepat dan padat. Maka kecenderungannya adalah mencari kepuasan langsung dan menyingkirkan pembatas-pembatas, entah norma kolektif atau tujuan bersama. Makna disekat menjadi makna sekarang dan di sini (hic et nunc). Acuan bersama tidak ditemukan lagi, kecuali risiko yang harus ditanggung bersama. Perubahan itu akhirnya mempengaruhi psikologi kolektif bawah sadar.

Revolusi teknologi informasi dan soal modernisme dengan segala janjinya tentang kemajuan, rasionalitas, dan kebahagiaan, di dalam “Bangku Belakang” mengarah kepada dehumanisasi yang kompleks. Sebab, modernisme sudah teradikalisasi dan menjadi “hiper”: Sam seolah tersihir oleh segala citra yang nyaris tanpa cela di layar komputer (realitas virtual). Dia lalu iri dengan segala “kenyataan” itu dan ingin menjadi bagiannya, meski harus menipu diri sendiri.

Kompleksitas cerpen ini menemukan daya pikatnya tatkala reuni berlangsung. Perjumpaan demi perjumpaan secara virtual lewat Facebook kini menjadi lengkap (baur) oleh perjumpaan yang riil di restoran mewah itu. Dan memang menarik bahwa di situlah justru Sam menanggalkan kesejatian dirinya karena bosan tidak terlihat: dia membual bukan di dunia virtual, tapi di pertemuan nyata. Saya sebagai pembaca mendapati Sam berpolah dingin, lugu, getir, yang haruslah tidak mengenakkan, tapi secara bersamaan Sam ternyata bisa menikmatinya seolah tanpa resah dan rikuh.

Sam pun menjadi tokoh yang termarjinalisasi dan teralienasi. Dia dikepung oleh sebuah realitas yang tidak pernah tetap dan selalu asing berkat kebaruan demi kebaruannya. Di sana, objek-objek tanpa ampun berhamburan tidak berhenti dari layar komputer. Pelbagai pajangan tanda, kode, simbol, imaji, dan banyak lagi yang dijejalkan manusia dari banyak tempat setiap detiknya itu, bisa saja kering akan sensitivitas kemanusiaan, sebenarnya. Semua itu demi citra yang hendak dibentuk.

Logika mode

Menurut Haryatmoko, zaman ini manusia sangat terobsesi oleh kehendak untuk mengungkapkan identitas khasnya. Ini merupakan suatu bentuk perayaan budaya bagi identitas diri. Meminjam pemikiran Sebastien Charles (2004), Haryatmoko melihat dua nilai logika mode: pertama, mode memungkinkan untuk mendiskualifikasi yang lalu dan memberi penghargaan terhadap yang baru. Yang baru itu indah. Ekstase karena selalu baru menggantikan harapan akan masa depan. Kedua, mode memungkinkan untuk afirmasi individu berhadapan dengan kolektivitas karena selera merupakan ungkapan khas seseorang dan tempat merajanya semua hal yang lewat-sekejap.

Obsesi manusia hipermodern dengan logika mode—yang kemudian dikaitkan Haryatmoko dengan merajanya budaya hedonis—memang mudah ditumpahkan salah satunya kepada situs-situs semacam Facebook dan sebangsanya (dan entah kelak apa lagi) di dunia maya.

Bandung, 25 Juli 2009

Sumber: Sabili, Agustus 2009)

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Posting Komentar